Pagi itu, selesai membersihkan tubuh, aku mematut diri di
cermin besar dalam kamarku. Aku menyisir rambutku yang memang sudah panjang,
yaa sekitar 100cm dari ujung akar rambut di kepalaku. Kenalkan, namaku Faiia
Fredella Afsheen. Hmm, namaku terdengar asing bukan? Ya, Ayah dan almarhumah
Ibuku ‘blasteran’ Jawa dan, Jawa. Hahaha... entah bagaimana artinya, aku tak
pernah membicarakan tentang namaku pada mereka. Yang jelas, aku menyukai namaku
ini. Dan semua orang yang mengenalku, biasa memanggilku Faiia. Usiaku 20 tahun.
Aku sudah kuliah, di universitas swasta ternama di daerahku. Hmm.. aku suka
hujan, aku suka mendengar rinai airnya yang turun ke bumi membasahi atap
rumahku, dan aku suka berada dibawah rintik air hujan. Tapi aku tidak suka
petir! Ingat itu. Aku tak suka dengar suaranya yang begitu menggelegar. Apapun itu,
aku tetap tak suka petir, maupun kilatnya. Perkenalan tentangku mungkin sudah
cukup, mari mengenalku lebih jauh dalam cerita ini. ^_^
Entah mengapa, hari ini aku merasa bahagia sekali. Aku keluar
kamar, dan kulangkahkan kakiku menuju ruang makan. Disana sudah ada Ayah yang sedang
duduk dengan membaca kabar berita, guna mengetahui informasi terkini. Tapi,
tunggu sebentar. Dimana adikku? Sedang apa si bungsu Virgo Dominic Andersen? Oh,
mungkin sedang memakai seragamnya.
Ya, kami adalah keluarga kecil, yang terdiri atas Ayah, Ibu,
anak perempuan satu-satunya, dan anak laki-laki satu-satunya. Benar, kami
adalah dua bersaudara. Aku anak pertama, dan terpaut cukup jauh dengan adikku
Virgo, yaitu 5 tahun. Tadinya begitu, tetapi Ibuku meninggal dunia dua tahun
yang lalu. Tidak karena sakit, tidak juga karena kecelakaan. Sampai saat ini,
jika disebut ikhlas, mungkin belum sepenuhnya kulakukan. Aku masih suka
termenung, dan menangis bila teringat akan Ibuku. Maklum, di usia seperti ini,
aku seharusnya sedang butuh-butuhnya pada sosok seorang Ibu. Namun apa daya,
mungkin Tuhan lebih sayang pada Ibuku daripada aku, jadi Tuhan memanggil Ibu
untuk menjadi bidadari di Surga.
Jika aku sedang bersemangat, biasanya aku melakukan apapun
dengan senang hati dan cukup cepat tanpa cacat sedikitpun. Tapi, jika aku
sedang malas, wah jangan ditanya, aku akan sangat lamban dalam mengerjakan
sesuatu, atau bahkan tidak kukerjakan sama sekali. Dan adikku? Dia sangat santai,
tapi kalau waktunya sudah terjepit, maka dia akan terburu-buru dan akan banyak
sekali barang miliknya yang tertinggal. Aduh, sungguh terlalu. Yahh, seperti
pagi ini, ketika aku akan duduk di kursi sebelah Ayah, tiba-tiba dia datang dengan
tergesa-gesa, “Yah, dimana kaus kaki milikku? Aku sudah mencarinya kesana kemari,
namun tak juga kutemukan” begitu tanyanya pada Ayah. Padahal, sudah
diperingatkan berulang kali, setiap pulang dari sekolah/kampus harus merapikan
barangnya masing-masing, dan juga menyiapkan untuk esok hari. Tapi adikku tak
mengindahkan peringatan itu, biasanya dia langsung keluar rumah lagi untuk
bermain bersama teman-temannya. Yahh, namanya juga anak laki-laki. Entah mengapa
aku merasa ada diskriminasi sikap disini. Hahaha bercanda.
Dan... “Kamu itu sudah diberitahu berkali-kali, kalau
mencari sesuatu jangan pakai mulut. Itu lihat di penjepit baju pada tali
jemuran!” selalu begitu jawaban Ayah. Kami sarapan dengan khidmat. Seperti
upacara saja. Hahaha... bukan begitu maksudku. Kami memang diajarkan untuk
tidak ‘ramai’ saat sedang berada di meja makan. Itu aturan dari Ayah sejak
dulu, atau mungkin memang begitu peraturannya aku tidak begitu paham, yang
jelas ku ikuti saja tanpa ada bantahan.
Selesai sarapan, aku, adik, dan Ayah berangkat bersama. Biasanya
memang begitu, dan diantar oleh Ayah menaiki ‘kijang gesit’ milik Ayah dan langsung
berangkat kerja ke kantor. Begitu pula pagi ini, aku sudah duduk di dalam mobil
bersama Ayah. Ahh, lagi-lagi adikku selalu saja mengulur waktu.
Dalam perjalanan, aku bertanya-tanya, masuk kuliah-kah dia
hari ini? Dia pakai baju warna apa yaa? Ahh.. aku suka wanginya. Akankah harum
tubuhnya terhirup lagi oleh hidungku yang mungil ini? Tiba-tiba Ayah sudah
menatapku dengan wajah heran. Aku tahu itu saat aku dan Ayah baru saja bertemu
pandang, “Kenapa kamu senyum-senyum sendiri Faiia? Apakah yang sedang kamu
pikirkan?” tanya Ayah yang membuatku tersipu malu. Kukeluarkan ‘headset’ dari
dalam tasku dan kupasangkan kabelnya pada telepon selulerku, “Aahh Ayah,
seperti tidak pernah muda saja. Kak Faiia sedang jatuh cinta, Yah!” sahut
adikku. Aku langsung mencubit lengannya, “Sok tahu kamu!” aku mendengus. Ayah
tersenyum melihat tingkah kami.
Aku masih mendengarkan musik. Lalu, “Daahh Ayah, daahh kak
Faiia. Jangan lupa yaa, kalau sudah ‘pacaran’, aku diajak makan-makan. Dadaaahhh...”
begitu kata adikku setelah turun mobil, sambil berlari masuk ke dalam gerbang
sekolahnya. Dan aku, hanya bisa bersungut-sungut atas tingkahnya itu. Aduh,
merusak pagi indahku saja anak itu. Pikirku...
“Perhatikan dulu kuliahmu, 4 tahun bukan waktu yang lama. Gali
potensimu disana, setelah lulus pasti pekerjaan akan mendatangimu. Urusan ‘itu’
nanti pun akan datang sendiri, sayang. Untuk sekarang, carilah teman
sebanyak-banyaknya. Boleh punya teman dekat lawan jenis, tetapi kamu harus tahu
batasan dalam pergaulanmu.” Ayahku mengingatkan, kujawab dengan anggukan.
Tak lama setelah itu, kami sampai di kampusku. Aku turun
dari mobil dan berpamitan pada Ayah. Aku langsung berlari-lari kecil menuju
ruang kelasku sambil bersenandung ria menyanyikan lagu kesukaanku, “...harmoni
cintaku, kini datang, nyanyikan suara hatiku, berlagu penuh cinta...”
Ahh, itu dia teman-teman sekelasku. Teman sekelasku
berjumlah 50 orang. Dan aku memiliki beberapa teman dekat berikut diantaranya:
Elicia Damaris Cyrilla dan Kallista Nisrina. Aku menghampiri mereka dan menyapa
mereka dengan senyumanku.
Aku duduk di salah satu kursi, dan menatap sekeliling,
melihat teman-temanku. Ahh, rupanya dia belum datang. Lima menit berlalu, aku
menunggu. Sepuluh menit berlalu, aku masih menunggu. Lima belas menit berlalu,
aku pun tetap menunggu. Entah kenapa, hari ini dia belum juga menampakkan diri.
Biasanya dia selalu datang lebih awal daripada aku. Ada apakah gerangan? Mungkinkah
terjebak macet di jalan? Atau mungkin dia celaka? Ahh, tidak tidak. Faiia,
jangan berpikir macam-macam begitu. Tak lama berselang, dia datang. Tapi, hey
hey tunggu dulu, ada apa dengan ekspresi wajahnya? Terlihat murung, dan...
matanya sembap. Dia kenapa? Aku hanya terdiam, dan menunduk ketika dia melewati
samping tempat dudukku.
Belakangan yang kutahu, dia sedang bertengkar dengan
kekasihnya. Ohh, mungkin hubungan mereka sudah begitu jauh, hingga mereka
bertengkar hebat karena menghadapi masalah yang sangat rumit. Aku hanya
berpikir demikian. Aku dianggap ingin menghancurkan hubungannya dengan
kekasihnya? Ohh tidak, aku bukan tipe orang demikian, tenang saja aku tak
sengaja mendengar pembicaraannya dengan teman dekatnya tadi saat pergantian jam
mata kuliah.
Hmm... aku sebenarnya termasuk gadis yang aktif dan periang.
Namun sejujurnya aku agak sulit bergaul dengan orang baru, aku mudah
beradaptasi, ketika aku sudah bisa mengambil alih suasana. Saat mereka
baik-baik saja kepadaku, misalnya. Disitu aku akan sangat ramah, dan ehm ‘ramai’.
Namun tidak untuk di kelas ini. Bukan berarti mereka tidak baik denganku, namun
ada satu hal yang membuatku diam. Sejak awal aku diterima di ruang kelas ini,
satu minggu di awal perkuliahan tepatnya, aku sudah suka pada seseorang yang
sejak awal kusebut dia, mungkin cinta pada pandangan pertama. Hahaha, terlalu
naif aku menyebutnya pada zaman ini. Dan karena itu, aku lebih aktif di media
sosial. Seperti twitter, facebook, line, dan sebagainya. Dan kebanyakan akun
yang kumiliki, berisikan curahan hatiku tentangnya.
Satu minggu setelah itu, perkuliahan pun mulai padat
jadwalnya. Ada banyak sekali praktikum. Tiba-tiba Kallista dan Elicia menghampiriku
yang sedang duduk di ruang tunggu depan laboratorium di kampusku. Elicia agak
jauh posisinya dariku, dan Kallista langsung duduk dihadapanku sambil bertanya,
“hey Faiia, kuperhatikan dirimu setiap berada di kelas suka senyum-senyum
sendiri. Kamu sedang memikirkan seseorang yaa? Hayooo... siapa sih? Kamu tidak
pernah cerita nih” aku memandangnya bingung, “siapa? Aku tidak sedang memikirkan
siapapun. Ahh kamu mengarang cerita saja nih” aku menjawab agak sedikit
waspada, jangan-jangan dia tahu siapa yang sudah kupikirkan selama ini. Akhirnya
Elicia mendekatiku, dan ikut duduk disamping Kallista. Jujur, aku tidak suka
diposisikan seperti ini, mirip orang yang sedang disidang saja, yaa walaupun
tidak begitu kenyataannya, tetapi tetap saja aku merasa diinterogasi.
Aku ditarik oleh Kallista untuk masuk ke ruang tunggu yang
letaknya di dalam laboratorium. Hahaha sejak tadi masih di ruang tunggu yaa,
kapan praktikumnya? Aku memang biasanya lebih suka datang ke laboratorium
mendekati jam masuk praktikum. Tapi entah kenapa hari ini aku datang beberapa
jam lebih awal. Mungkin sudah punya firasat akan terjadi hal demikian. Hahaha...
aku bercanda. Kulihat, Elicia mengikuti kami dari belakang, dan disusul oleh
teman-temanku yang lain. Kulihat ada dia juga. Kami sekelas memang biasa
bersama-sama, namun masih saling menjaga ‘image’ masing-masing karena belum
terlalu kenal.
Kallista mulai angkat bicara. Kulihat ada gelagat tidak baik
dalam hubungan pertemananku dengannya. Ada apakah ini? Aku masih belum paham
atas sikap dan pertanyaannya padaku sejak tadi. Kallista memandangku dengan
takut-takut dan berkata, “Faiia, di tempat kost yang aku tinggali saat ini, aku
memiliki dua orang teman. Mereka berdua perempuan, dan mereka jatuh cinta pada
laki-laki yang sama. Mungkinkah kita pun begitu?” tanyanya padaku dengan
hati-hati. Aku memandangnya dengan heran. Kutanyakan saja padanya, “Mengapa kamu
bertanya seperti itu padaku? Apakah aku terlihat sedang dekat dengan laki-laki
yang kamu sukai saat ini?” begitu tanyaku penuh selidik. Dia gak gugup, lalu
mengeluarkan telepon selulernya. Entah untuk apa, tapi sepertinya dia mengerti
jalan pikiranku. Dia menyerahkan telepon selulernya, dan disitu kulihat
beberapa percakapannya dengan Ricky Salsavades. Yaa, Ricky! Laki-laki yang
mencuri hatiku sejak awal aku masuk kuliah disini. Bagai tersambar petir di
siang bolong, aku membaca semua percakapannya dari awal hingga akhir.
Sesak rasanya dadaku, namun apa daya aku tak bisa mengeluarkan airmata. Hanya sedih yang
mendalam yang kurasa saat ini. Aku merasa dikecewakan oleh teman dekatku,
padahal aku tahu dia pun tak mengerti semua ini, yang Kallista tahu hanyalah
ada seseorang yang begitu perhatian kepadanya, dan dia merasa nyaman lalu
dibalaslah semua pesan-pesan pribadi itu. Aku pun kecewa pada Ricky, karena
yang kutahu dari akun media sosialnya (diam-diam setiap malam aku tidak pernah
absen untuk melihat aktivitas Ricky di akun-akun miliknya, hahaha...) dia belum
memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang tempo hari bertengkar hebat
dengannya itu, tetapi sekarang Ricky mendekati teman dekatku.
Oh Tuhan, ada apa ini? Beginikah jalan seorang yang
mencintai dalam diam, si pemuja rahasia? Ahh, hancur hatiku. Kulihat, Kallista
telah terisak, berguncang-guncang bahunya menahan tangis. Kutanya dia, “Mengapa
kamu menangis? Apakah aku menyakitimu? Maaf Kallista, bukan begitu maksudku. Karena
kamu sudah mau jujur padaku tentang ini, akupun akan berterus terang padamu. Ya,
aku memang menyukai Ricky. Tetapi hanya akan kujadikan teman, agaknya dia telah
memilihmu, hahaha... mungkin aku kurang cepat yaa.” Kataku yang juga tengah menahan
airmata agar tak keluar dari singgasananya. Dia mengatakan, bahwa dia tak ingin
kehilangan aku sebagai sahabatnya. Dia sampai memohon kepadaku agar tak
meninggalkannya hanya karena menyukai laki-laki yang sama.
Belakangan kutahu, saat Kallista bertanya padaku tentang
siapa laki-laki yang ku sukai, dia hanya memancing jawaban dariku dengan
menceritakan teman satu kost-nya.
Sepulangnya dari laboratorium, aku latihan paduan suara
bersama unit kegiatan di kampusku. Sungguh kacau pikiranku, aku tak fokus
berlatih menyanyi, dan berulang kali ditegur oleh pelatihku. Akhirnya aku
meminta izin untuk pulang lebih dulu dari teman-temanku yang lain.
Sampai di rumah, aku baru bisa menangis sejadi-jadinya. Aku tulis
semua ungkapan marahku pada Ricky di akun twitter-ku. Tak kusebutkan namanya,
tapi kuyakin pasti dia tahu apa maksud tulisanku di akun milikku tersebut.
Benar saja, satu minggu setelah kejadian itu, Kallista
menghampiriku lagi dan bertanya, “Kamu ada masalah apa sama Ricky? Dia semalam
mengadukan tentangmu kepadaku. Maaf Faiia, bukan maksudku nenghakimimu. Tetapi aku
hanya menyampaikan, lebih baik kalian berdua selesaikan masalah kalian. Aku tak
mau kita terpisah-pisah begini. Saling bermusuhan satu sama lain.” Begitu jelasnya
padaku. Aku hanya diam, dan meng-iyakan perkataannya.
Esoknya Ricky sudah menungguku di dalam kelas bersama
Elicia, dan Kallista tentunya. Entah mereka sudah jadi sepasang kekasih atau
belum, aku tak peduli lagi. Sudah cukup sakit hatiku untuk mengetahui segala
hal tentang mereka. Mereka sudah mengecewakan aku. Begitu pikirku. Ricky
bertanya padaku, “Faiia, adakah yang salah dari diriku? Semua status di akun
media sosialmu itu untuk diriku ataukah yang lain?” lalu kujawab sekenyanya, “ahh,
bukan. Tak ada apa-apa denganmu. Statusku hanya untuk teman lamaku. Tidak ada
hubungannya denganmu. Ada apa? Kamu tersinggung? Maaf kalau begitu, aku tak
bermaksud begitu.” Sambil kupasang wajah tersenyum, aku mengisyaratkan masalah
ini selesai.
Hahaha... kamu adalah pembohong yang hebat Faiia! Hey, ingat
sekali lancung ke ujian, kamu tak akan pernah dapat dipercaya. Ahh, biarkan
saja. Aku tak peduli itu, yang jelas aku tak lagi mau berurusan dengannya dan
Kallista, atau siapapun itu.
Intinya, aku tak ingin bermusuhan dengan kedunya. Dan akan
kumulai kisahku sendiri setelah ini. Terimakasih kawan, kau telah mengajarkan
banyak hal kepadaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar